Jumat, 16 September 2011

Nasionalis vs Rasionalis

   Kira-kira kalau jam segini (01.00 WIB) belum tidur namanya insomnia atau begadang ya? Apalah namanya tapi jam segini bantal dan guling belum bersahabat sama gue, hehehehe... Kalau dipikir-pikir sih masih mendingan kelelawar daripada gue, kelelawar kan siangnya tidur dan malamnya bangun. Nah kalau gue, siang seger malem tambah seger. Dan yang suka bikin gue kesel sendiri, gue tuh suka tidur disaat yang seharusnya ngga tidur misalnya pas lagi jam kuliah, pas lagi maen game, dan yang paling parah gue pernah ketiduran di dalam studio band (gebukan drum gue sangka musik klasik kali ya). Tapi ngga apa-apalah, yang penting gue masih sehat sampai gue ngetik tulisan ini walaupun ngga ada yang peduli juga gue mau sehat atau gila, haha..
Sebenernya gue bingung mau ngetik tentang apa (entah karena gue terlalu banyak tau atau malah sama sekali ngga ada yang gue tau :D ), tapi gue masih kepikiran tentang kekalahan Indonesia 0-2 dari Bahrain pada Kualifikasi Pra Piala Dunia Brasil 2014 lalu.
   Gue, dan mungkin semua rakyat Indonesia kecewa dengan kekalahan Timnas Indonesia dari Bahrain yang membuat langkah Indonesia semakin berat maju ke putaran selanjutnya. Diatas kertas memang skill individu pemain Bahrain lebih unggul daripada pemain Indonesia, position player mereka labih baik, dan penguasaan bola mereka yang jauh mengungguli para pemain timnas. Gue sebagai suporter timnas bisa terima kekalahan itu karena gue sadar setiap pertandingan pasti ada yang kalah dan menang, tapi ada satu yang nggak bisa gue terima yaitu permainan timnas yang seolah-olah mereka main di stadion luar angkasa yang ngga ada penontonnya padahal mereka main dikandang sendiri dengan dukungan 80.000 lebih suporter dari seluruh Indonesia. Dan yang gue pikir sepanjang pertandingan itu ngga lebih dari sebuah tim amatir yang sedang dipermainkan oleh tim profesional. Sejenak gue terhanyut dalam pikiran tersebut tapi gue langsung sadar kalau yang lagi bertanding itu Timnas Indonesia, tim yang menjadi kebanggan ratusan juta rakyat Indonesia, dan sebuah tim yang dapat menyatukan seluruh suporter klub sepakbola Indonesia dibawah satu bendera, bendera Merah Putih. Mereka seharusnya dapat bermain lebih baik malam itu karena mereka adalah 11 pemain terbaik bangsa ini, di tangan dan kaki mereka lah harapan semua rakyat Indonesia digantungkan.
Banyak yang bilang kalau kekalahan timnas pada malam itu dikarenakan faktor tinggi badan yang cukup mencolok sehingga pemain timnas banyak kehilangan bola pada saat duel badan. Kalau memang begitu, mengapa Argentina selalu lolos pada putaran Piala Dunia yang secara tinggi badan hampir sama dangan pemain Indonesia? Llonel Messi, Carlos Tevez sampai sang legenda, Diego Maradona memiliki tinggi yang tidak lebih dari 170 cm. Oleh karena itu, sudah jelas persoalan tinggi badan bukan masalah terhambatnya timnas Indonesia meraih kemenangan demi kemenangan. 
Ada juga yang mengatakan faktor pelatihlah yang menjadi faktor utama kekalahan pada saat melawan Bahrain. Mayoritas orang yang memberikan pernyataan ini beranggapan bahwa caci makian coach Wim pada istirahat babak pertama yang membuat mental pemain menjadi down sehingga permainan mereka pada babak kedua semakin payah. Menurut mereka, para pemain tidak terima dengan perkataan coach Wim yang bisa dibilang kasar dan menjatuhkan mental pemain tersebut. Tapi menurut gue, pelatih wajar-wajar aja bicara seperti itu karena dilakukan di kamar ganti, bukan di depan publik. Dan mungkin, arahan pelatih selama pertandingan tidak dijalankan sepenuhnya oleh para pemain sehingga terlontarlah kata-kata yang dianggap kasar tersebut. Gue berpendapat demikian bukan berarti gue pro dengan coach Wim, jujur gue juga (bisa dibilang) sangat kecewa dengan pernyataan dia di depan media pada saat konferensi pers setelah pertandingan. Waktu itu dia bilang (kalau tidak salah)...
" Ini bukan tim saya. Dan tim ini belum siap bermain di level yang lebih tinggi (Internasional) "
Sangat tidak etis seorang pelatih dalam sebuah konferensi pers menyatakan hal demikin. Dia beranggapan bahwa timnas yang terbentuk sekarang bukan merupakan pemain-pemain pilihannya. Kalau begitu, mengapa dia mau saja menerima kontrak dari PSSI sedangkan dia tahu bahwa pemain yang ada saat ini bukan merupakan pemain pilihannya? Sehingga tersirat bahwa ia menumpahkan efek kekalahan tersebut kepada seluruh pemain dan ia tidak ingin disalahkan. Wajar saja kalau sampai saat ini ada 7 pemain Timnas yang memilih untuk keluar dari Timnas daripada berada dibawah kepemimpinan coach Wim.
Sungguh berbeda dengan pelatih Timnas sebelumnya, Alfred Riedl. Riedl merupakan sosok pelatih yang tidak suka membicarakan kelemahan pemain / tim pada media, Ia lebih memilih mengutarakannya langsung ke pemain yang bersangkutan. Contohnya pada Piala AFF 2010 lalu disaat Bambang Pamungkas tidak menjadi pemain inti, Riedl langsung membicaraknnya dengan Bambang secara tegas seusai sesi latihan. Dan bagi gue, seperti itulah seharusnya pelatih bekerja.
   Untuk pertandingan selanjutnya melawan Qatar, secara Nasionalis gue harus tetap optimis Timnas Indonesia bisa bermain maksimal dikandang dengan dukungan yang lebih hebat dari para pecinta sepakbola di tanah air. Namun secara Rasionalis, mungkin memang benar apa yang dikatakan coach Wim, "...tim ini belum siap bermain di level yang lebih tinggi (Internasional) ".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar